Klikpantura.com Dari Bahasa Portugis ke Rusia dan Jerman, Kebijakan Pendidikan yang Semakin Ambisius dan Semakin Jauh dari Kenyataan
Oleh Novita Sari Yahya – Penulis dan Pengamat Sosial Pendidikan
“Anak Indonesia harus siap menghadapi dunia,” kata para pejabat dengan nada penuh semangat.
Tapi dunia yang mana—dunia nyata, atau dunia imajinasi kebijakan?
Bahasa Dunia di Tengah kondisi Pendidikan Indonesia.
Semakin berat beban yang harus dipikul anak-anak Indonesia. Setelah bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, dan Arab, kini giliran bahasa Portugis masuk ke daftar pelajaran sekolah.
Keputusan ini diumumkan Presiden Prabowo Subianto saat menerima Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva di Jakarta, 22–23 Oktober 2025.
Kebijakan tersebut, menurut laporan media merupakan bagian dari penguatan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Brasil.
Sekilas, keputusan ini terdengar visioner: menyiapkan generasi global yang mampu bersaing di era dunia tanpa batas.
Namun, di sisi lain, kebijakan itu menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih mendasar—apakah sistem pendidikan kita siap?
Dunia Tanpa Peta Mari kita berpikir logis sejenak: untuk apa anak-anak Indonesia belajar Portugis?
Apakah nanti akan banyak pabrik Brasil berdiri di Kalimantan?
Atau akan ada pertukaran pelajar antara Bandung dan Rio de Janeiro?
Mungkin pemerintah punya rencana besar. Sebab, setelah bahasa Portugis, tidak menutup kemungkinan bahasa Rusia dan bahasa Jerman akan menyusul. Tujuannya tentu mulia: agar anak-anak Indonesia bisa menyapa “товарищ” (tovarishch) bila bekerja di Vladivostok, dan berkata “Guten Morgen” ketika menandatangani kontrak sawit dengan Hamburg.
Visi global yang luar biasa. Sayangnya, di banyak pelosok negeri, anak-anak masih kesulitan membaca dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, listrik padam setiap siang, dan ruang kelas bocor setiap hujan.
Apakah mereka benar-benar butuh bahasa Portugis, atau justru butuh perbaikan atap sekolah yang bocor?
“Kebijakan ini terdengar seperti undangan ke pesta internasionalyang dikirim kepada keluarga yang belum punya rumah.”
Ambisi Global di Kelas yang Atapnya Bocor Indonesia sedang berlari mengejar gelar “Generasi Emas 2045."
Generasi yang cerdas teknologi, tangguh, multibahasa, dan siap menghadapi Revolusi Industri 5.0.
Namun sebelum sampai ke sana, ada kenyataan pahit yang sulit dihindari yaitu anak-anak yang kekurangan gizi.
Prevalensi stunting nasional berdasarkan SSGI 2024 adalah 19,8%, tetap diharapkan mampu menguasai coding, STEM, serta bahasa Portugis dan Jerman.
Bayangkan anak SD di pelosok yang baru bisa menulis nama sendiri, kini diharapkan menghafal kata obrigado atau danke schön.
Sungguh, jika semangat ini diteruskan, anak Indonesia mungkin akan menjadi poliglot sejak dalam kandungan.
Pendidikan atau Parade Kebijakan?Kita hidup di era ketika kebijakan sering diciptakan untuk tampil memukau di forum internasional.
Maka lahirlah jargon-jargon yang terdengar futuristik: transformasi digital, generasi global, inovasi pendidikan berbasis kecerdasan buatan.
Sayangnya, jargon tak selalu sejalan dengan realitas. Guru masih bergulat dengan gaji rendah, kurikulum berubah tiap tahun, dan internet di banyak sekolah masih hidup-mati.
Tetapi di atas semua itu, kita terus menumpuk harapan di pundak anak-anak.
Seolah-olah masa depan bangsa bisa diperbaiki hanya dengan menambah satu mata pelajaran baru.Anak-anak yang Kelelahan Pendidikan kita sudah lama kehilangan keseimbangannya.
Kita memuja kecerdasan, tapi lupa kebahagiaan. Kita menuntut kreativitas, tapi menakuti kesalahan.
Kita mengajarkan banyak hal, tapi jarang memberi ruang untuk bernapas. Setiap tahun, beban akademik bertambah. Anak-anak harus belajar lebih banyak, lebih cepat, lebih rumit.
Pagi belajar matematika, siang coding, sore bahasa asing.
Namun di antara semua itu, kapan mereka sempat bermain, Sekolah seharusnya menjadi tempat anak-anak tumbuh, bukan tempat mereka diuji terus-menerus.
Ketimpangan dan kenyataan. Kita sering membanggakan kebijakan besar, tapi menutup mata terhadap ketimpangan kecil.
Pejabat berbicara tentang “kesiapan generasi global,” sementara di daerah, guru masih menulis dengan kapur di papan kayu.
Pemerintah berbicara tentang AI dan metaverse, tetapi masih ada sekolah, yang komputer hanya ada satu, dan itu pun sudah berdebu.
Cermin di Ruang Elite Jika menengok ke atas, ke jajaran elite politik negeri ini, ironi semakin jelas.
Sebagian pejabat adalah lulusan SMA, bahkan beberapa ijazahnya masih misteri publik.
Namun dari ruang yang sama, lahirlah kebijakan yang menuntut anak-anak menjadi “superman kecil”:
fasih lima bahasa, jago algoritma, dan menguasai dunia digital.
Apakah ini strategi pendidikan, atau keinginan orang dewasa?
“Sekolah tidak butuh lebih banyak bahasa,tapi lebih banyak kejujuran dan empati dari pembuat kebijakan.”
Sekolah adalah ruang tumbuh imajinasi dengan kebahagian.Sekolah bukanlah arena perlombaan, melainkan taman belajar dan berimajinasi.
Namun hari ini, taman itu terasa gersang.Anak-anak datang bukan untuk bermain, tapi untuk melengkapi daftar target nasional.
Guru pun tak lagi punya waktu mengajar dengan hati karena terlalu sibuk mengisi laporan dan mengikuti pelatihan daring yang kadang tak relevan.
Ketika kebijakan datang bertubi-tubi tanpa menyentuh akar persoalan, yang lahir adalah kelelahan.
Refleksi: Siapa yang Sebenarnya Belajar?Mungkin, sebelum meminta anak-anak belajar bahasa Portugis, Rusia, dan Jerman, kita—orang dewasa—yang perlu belajar sesuatu: belajar jujur, belajar konsisten, belajar rendah hati terhadap kenyataan.
Pendidikan tidak diukur dari seberapa banyak bahasa yang diajarkan, melainkan dari berapa banyak anak yang bisa tersenyum saat belajar.
Tidak perlu memaksa mereka jadi “warga dunia” sebelum mereka menjadi warga negaranya sendiri dengan layak.
Pertanyaan untuk Presiden Pak Presiden, izinkan kami bertanya, serius tapi sopan:
Apakah benar masa depan bangsa harus ditopang pundak anak-anak yang bahkan belum cukup tinggi untuk melihat papan tulis?
Jika ya, mungkin kita bukan sedang menulis sejarah pendidikan—melainkan satire paling panjang dalam perjalanan republik ini.
Tentang Penulis: Novita Sari Yahya adalah penulis, kolumnis, dan pengamat isu sosial-pendidikan.Tulisan-tulisannya berfokus pada kebijakan publik,pendidikan dan dinamika sosial di era digital.

0Komentar