Klikpantura.com Cerita ini terjadi pada masa Orde Baru. Pemerintah Mesir mengadakan sayembara internasional untuk menebak usia mumi yang ditemukan di Giza. Puluhan negara mengirimkan tim ahli paleoantropologi terbaik mereka. Namun, Indonesia mengirimkan seorang aparat intelijen berpangkat komandan.
Setelah negara-negara lain selesai, giliran delegasi Indonesia maju. Pak Komandan meminta izin untuk memeriksa mumi tersebut di ruang tertutup. Panitia pun mengizinkan. Lima belas menit kemudian, dengan tubuh berkeringat, Pak Komandan keluar dan mengumumkan hasilnya:
> “Usia mumi ini enam ribu dua ratus empat puluh lima tahun enam bulan tujuh hari.”
Ketua dan seluruh anggota tim juri terbelalak, heran dan kagum, karena jawaban itu tepat sekali. Menjelang kembali ke Indonesia, Pak Komandan dikerumuni wartawan dalam dan luar negeri di lobi hotel.
> “Anda luar biasa,” kata mereka. “Bagaimana cara Anda tahu dengan persis usia mumi itu?”
Pak omandan dengan enteng menjawab:
> “Saya gebuki, ngaku dia!”
Cerita ini menggambarkan bagaimana praktik kekerasan dan intimidasi digunakan untuk memperoleh informasi, bahkan dalam konteks yang tidak relevan sekalipun. Gus Dur dengan cerdas menggunakan humor ini untuk menyindir metode represif Orba yang sering kali mengandalkan kekuatan fisik dan psikologis untuk menekan lawan politik.
Ali Moertopo: Sang Maestro Intelijen Orba
Jika mumi di museum adalah simbol kekuasaan yang "mati tapi masih mengendalikan", maka Ali Moertopo adalah tangan yang menggerakkannya. Sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus) di bawah Soeharto, Ali dikenal sebagai “maestro bayangan”, pengendali semua operasi intelijen yang tampak tak terlihat. Ia menyusun strategi politik, mengawasi oposisi, dan menjaga stabilitas rezim dengan cara yang kadang brutal.
Misalnya, keterlibatannya dalam Petisi 50 pada 1980 menunjukkan betapa seriusnya ia mengontrol informasi dan mengatur pergerakan tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan. Dalam satir Gus Dur tentang jenderal-jenderal Orde Baru yang bertangan besi, Ali Moertopo seperti salah satu dari mereka:
> "Pertama, jenderal yang takut istri. Tipe kedua, jenderal yang tidak takut istri."
Yang membedakannya hanya posisi di ruangan pertemuan apakah kiri atau kanan, tapi keduanya sama-sama mengendalikan segalanya dari bayangan, membuat orang patuh bahkan tanpa disadari. Kekuasaannya tampak tak terlihat, tetapi dampaknya sangat nyata.
Pater Beek: Agen Rahasia di Balik Layar
Josephus Gerardus Beek, atau Pater Beek, menambah lapisan kompleks dalam dunia intelijen Orba. Sebagai Jesuit Belanda dan penasihat Soeharto, Beek berperan dalam pengawasan politik Islam dan komunisme melalui jaringan dakwah dan pendidikan. Ia bahkan mengakui pernah memberikan informasi tentang anggota PKI kepada Ali Moertopo, yang kemudian digunakan untuk tindakan represif.
Sosok Beek seolah menjadi bayang-bayang halus di panggung besar sejarah Indonesia seperti pengamat yang duduk di balik tirai, memegang benang-benang tak terlihat yang menggerakkan lakon politik dan agama. Dalam diamnya, ia menjadi pengingat bahwa kekuasaan tak selalu berdiri di atas panggung, tapi sering kali berbisik dari balik layar.
Mohammad Natsir: Penentang yang Teguh
Mohammad Natsir adalah sosok yang berbeda karena keberaniannya yang teguh dan prinsip hidupnya yang kuat di tengah rezim Orde Baru yang otoriter dan kaku. Natsir dikenal sebagai pribadi yang jujur, sederhana, dan sangat menghargai integritas; ia menolak kemewahan dan hidup dengan gaya hidup sederhana meskipun memiliki posisi penting.
Keberaniannya terlihat saat ia menandatangani Petisi 50 untuk menentang penyalahgunaan Pancasila oleh rezim Orde Baru, meskipun itu berdampak buruk secara politik baginya, seperti pencekalan bepergian ke luar negeri. Selain itu, Natsir menunjukkan kemandirian dan tanggung jawab besar dalam berjuang, tidak hanya di ranah politik tapi juga dalam bidang dakwah Islam lewat pendirian Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, menjaga dakwah yang bebas dari pengaruh pemerintah.
Ia juga dikenal santun dan penuh empati, menjaga hubungan baik meskipun ada perbedaan ideologi politik, dan tidak memelihara rasa dendam.
Dalam konteks ini, satir Gus Dur yang menggambarkan Natsir sebagai “manusia hidup di antara mumi-mumi” menunjukkan bahwa Natsir tetap hidup dengan nilai moral, integritas, dan keberanian yang nyata, berbeda dari kebekuan dan kepatuhan mutlak yang dipaksakan rezim Orde Baru pada orang-orang sekitarnya. Ia menjadi teladan keberanian dan keteguhan prinsip yang tidak mudah dikalahkan oleh tekanan politik dan kekuasaan yang represif.
Soeripto: Agen Intelijen yang Bertransformasi
Soeripto, anggota BAKIN, menunjukkan sisi lain dunia intelijen Orba. Ia bertugas dalam pengawasan dakwah kampus, memastikan jaringan Islam tetap terkontrol. Namun, menariknya, ia mengalami transformasi: dari agen intelijen menjadi tokoh sosial-politik yang lebih moderat.
Ironi situasi ini memunculkan gambaran agen rahasia yang dulunya tersembunyi kini tampil di panggung publik. Seolah-olah sosok yang sempat ‘terkubur’ dalam bayang-bayang kekuasaan tiba-tiba bangkit, mencerminkan bagaimana kekuasaan dan loyalitas dapat beradaptasi dengan dinamika sosial-politik, dengan cara yang terkadang penuh kejutan dan efektif.
Guyonan Gus Dur tentang Intelijen Indonesia
Guyonan Gus Dur di Forum Kyai. Dalam sebuah forum diskusi kyai di era Orba, Gus Dur sedang memberi sambutan. Tiba-tiba ia beralih berbicara sepenuhnya dalam bahasa Arab yang fasih, sambil berbisik ke para kyai di sekitarnya:
> "Abis ini, ngomongnya pakai bahasa Arab aja, ya. Karena ada intel di sini—mereka pasti gak paham!"
Para kyai ikut-ikutan: seluruh diskusi berlangsung dalam bahasa Arab, membahas topik-topik sensitif seperti kebebasan berpikir, korupsi rezim, dan hak asasi manusia—semua tanpa sensor apa pun. Sementara itu, petugas intelijen yang menyusup duduk di barisan belakang, mencatat dengan serius, tapi jelas bingung setengah mati.
Akhirnya, intelijen itu melapor ke komandannya:
Aman, Ndan! Mereka cuma saling doakan aja."
Pesan Satir di Balik Guyonan Ini:
Pengawasan Absurd Orba: Intelijen sering menyusup ke mana-mana, termasuk majelis ulama, tapi kurang kompeten bahkan bahasa Arab dasar pun tak dikuasai. Sindiran halus pada birokrasi yang kaku dan tak siap.
Kekuatan Humor dan Kebijaksanaan: Gus Dur menggunakan pengetahuan agamanya untuk "melindungi" ruang diskusi bebas, sambil membuat yang mengawasi jadi bahan tertawaan. Ini cara cerdasnya melawan dominasi tanpa konfrontasi langsung.
Warisan Gus Dur: Guyonan seperti ini menjadi senjata reformasi untuk mengajak orang berpikir kritis lewat tawa, bukan amarah. Banyak yang bilang, ini salah satu alasan dia bisa bertahan sebagai oposisi tanpa langsung "dihabisi" rezim.
Refleksi: Etika, Moralitas, dan Kekuasaan dalam Intelijen
Dari Ali Moertopo hingga Soeripto, dari Pater Beek hingga Natsir, terlihat bahwa intelijen adalah arena pertarungan moral
Pilihan selalu di antara:
Memanfaatkan seseorang untuk kepentingan politik, lalu meninggalkannya saat tidak lagi berguna atau bertahan pada prinsip dan etika, walau menghadapi tekanan.
Gus Dur menggunakan humor mumi sebagai cermin: meski dunia politik dipenuhi intrik. Integritas pribadi tetap bisa bertahan, dan moralitas bukan sekadar teori, tapi praktik nyata yang menentang kekuasaan yang menindas.
Penutup: Satire Gus Dur sebagai Cermin Realitas
Guyonan “Saya gebukin, ngaku dia” bukan hanya lelucon, tapi cermin yang memantulkan realitas dunia intelijen Orba. Agen tersembunyi, manipulasi, intrik politik, dan tekanan sosial semuanya menjadi bahan satir yang cerdas.
Dalam dunia ini, tidak semua yang diam tidak berdaya. Seperti mumi yang tampak tenang, intelijen Orba dapat menakut-nakuti, tetapi moral dan prinsip seperti Natsir tetap hidup, menjadi benteng etika. Humor Gus Dur mengajarkan bahwa politik adalah permainan kompleks antara kekuatan tersembunyi dan integritas personal. Dengan kecerdasan serta kesadaran kritis, masyarakat bisa membaca permainan kekuasaan dengan bijak.
Referensi Buku
1. Ali Moertopo, Ali Moertopo 1924–1984. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2004.
2. Sembodo, M., Pater Beek, Freemason, dan CIA. Jakarta: Galan, 2009.
3. Sudarmanto, Y. B., Pater Beek, S.J.: Larut tetapi Tidak Hanyut; Biografi (1917–1983). Jakarta: Obor, 2008.
4. Dzulfikriddin, M., M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir. Mizan Pustaka, 2014.
5. Kementerian Luar Negeri RI, Ali Moertopo & Dunia Intelijen Indonesia. Jakarta: Kemenlu, 2015.
6. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Pendiri dan Pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Jakarta: Sinar Media Abadi, 2017.
7. Arif Zulkifli, Purwanto Setiadi, Widiarsi Agustina, & Redaksi KPG, Rahasia-Rahasia Ali Moertopo. Jakarta: KPG, 2014.
8. Soeripto, H., Buku Surat Dari Anak-Anak Gaza. Jakarta: KNRP, 2015.
9. M. Kamil Hassan, Mohammad Natsir: Ilmuwan Ulung Melayu Abad ke-20. Aras Mega & WADAH, 2024.
10. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Akta Pendirian dan Perubahan-Perubahannya. Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2017.
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti.
Kajian lintas ilmu.


0Komentar