Klikpantura.com Sumatera Barat kembali terguncang. Bukan oleh gempa tektonik di bawah Bukit Barisan, melainkan oleh gempa moral politik.
Berita bahwa putra Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumbar sontak. mengguncang ruang publik
Bagi masyarakat Sumbar—yang selama dua periode Pilpres secara konsisten memberi lebih dari 80 persen suara kepada Prabowo Subianto, dengan dukungan kuat dari PKS—ini bukan kabar biasa.
Ini seperti melihat anak ideologis partai dakwah kini duduk di kursi partai yang dulu dicap sebagai antitesisnya.
Lahirnya Pasukan Siber Dakwah
Kisah ini sejatinya berakar lebih dalam.
Sejak 2011, benih “politik digital PKS” mulai tumbuh.
Dalam catatan Journal Communicology UNJ (2020), Anis Matta, kala itu Sekjen PKS, disebut telah mendeklarasikan Cyber Army di Yogyakarta, menargetkan 500.000 aktivis siber yang siap berjuang di dunia maya.
(Journal UNJ, 2020)
Langkah ini kemudian diresmikan secara terbuka pada 17 April 2013, ketika Anis Matta—yang baru saja menggantikan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai Presiden PKS—mengumumkan bahwa
> “Cyber Army PKS akan segera masuk ke ponsel masyarakat untuk kampanye.”
PKS, yang selama ini dikenal lewat majelis liqo dan halaqah, kini punya “liqo digital”: rapat kader berganti menjadi grup WA Kajian ilmu berganti menjadi thread panjang di X (Twitter).
Lini masa pun menjadi ladang dakwah—dan juga ladang pertempuran opini.
Menjelang Pemilu 2014, PKS bahkan menargetkan 500.000 admin siber untuk memenangkan pasangan Prabowo–Hatta.
Fahri Hamzah, kala itu Wasekjen PKS, mengakui partainya memiliki “tim media sosial”, tetapi menolak disebut buzzer bayaran.
Sejak saat itu, dunia maya berubah menjadi arena dakwah sekaligus arena perang.
WA grup keluarga, alumni SD, hingga grup masjid jadi ajang perdebatan sengit.
Bukan lagi perbincangan seputar silaturahmi, tapi pertempuran narasi: siapa yang lebih islami, siapa yang lebih nasionalis, siapa yang harus dibully hari ini.
Dari Surau ke Server: Etika yang Tergadaikan
Kini, ketika anak gubernur dari partai dakwah justru memimpin PSI—partai yang selama ini dianggap berseberangan—reaksi spontan para kader terasa ironis.
Sebagian menyerang, sebagian lagi membela dengan narasi manis:
> “Ini hak politik setiap anak muda.”
“Politik itu dinamis.”
“Perbedaan itu indah.”
Tapi orang Minang punya pepatah:
> “Kalau sudah menjilat air ludah sendiri, jangan harap masih terhormat.”
Dulu, para buzzer digital itu berteriak lantang menentang “liberalisme politik.”
Kini, mereka mendadak jadi juru bicara kebebasan.
Dulu, politik adalah dakwah.
Kini, dakwah jadi dalih politik.
Etika yang dulu diusung dari surau kini terdampar di server.
Konsistensi yang dulu dibanggakan kini tenggelam dalam banjir unggahan dan komentar.
Padahal, politik Minang pernah punya teladan: Mohammad Natsir, yang teguh pada prinsip, santun dalam sikap, dan tidak menukar integritas dengan jabatan.
Natsir percaya, politik tanpa akhlak hanyalah perebutan kursi, bukan perjuangan nilai.
Karma Politik dan Ludah yang Dijilat kembali.
Maka, ketika Sumbar hari ini heboh karena anak Mahyeldi menjadi Ketua PSI, sesungguhnya ini bukan soal siapa duduk di partai apa.
Ini soal konsistensi etika.
Sebab politik yang dibangun atas dasar “citra” tanpa prinsip akan selalu berputar seperti komedi digital—penuh drama, tanpa arah moral.
PKS mungkin berkata: politik itu cair.
Namun bagi urang Minang, cair bukan berarti menelan kembali ludah yang pernah diludahkan.
Dan sejarah selalu punya cara membalas: bukan dengan amarah, tapi dengan ironi.
Daftar Referensi
1. Tempo.co – Putra Gubernur Mahyeldi Jadi Ketua PSI Sumbar (19 /10/2025 )
2. Detik.com – Cyber Army PKS Siap Masuk ke Ponsel Anda (17 Apr 2013)
3. JakartaSatu.com – PKS Siapkan 500 Ribu Cyber Army (6 Jun 2014)
4. Journal UNJ – Konstruksi Framing Komunikasi Politik PKS di Sosial Media (2020)
5. Detik.com – Fahri Hamzah: PKS Punya Tim Media Sosial, Bukan Pasukan Bayaran (22 Apr 2014)

0Komentar