.
Klikpantura.com Sumatera barat Etnis Minangkabau dari Sumatera Barat telah melahirkan banyak tokoh progresif dan visioner yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Salah satu keluarga yang menonjol adalah keluarga besar Jahja Datoek Kajo, seorang tokoh Volksraad dan pelopor penggunaan Bahasa Indonesia di lembaga legislatif kolonial.
Dikenal sebagai figur reformis dan nasionalis awal abad ke-20, Jahja Datoek Kajo mewariskan semangat kebangsaan yang kuat kepada dua puluh satu putra dan putrinya. Dari keturunan inilah lahir sejumlah tokoh penting seperti Brigjen Daan Yahya, Kolonel Achirul (Akhirul) Yahya, dan dr. Sagaf Yahya, yang mengabdikan diri pada perjuangan kemerdekaan, militer, pemerintahan daerah, serta dunia sosial-politik Indonesia.
Tulisan ini menelusuri jejak biografis mereka melalui pendekatan akademik-naratif dan genealogis, menyoroti nilai disiplin, integritas, dan nasionalisme sebagai warisan khas keluarga Jahja Datoek Kajo.
Jahja Datoek Kajo: Fondasi Perjuangan dan Keluarga Reformis
Jahja Datoek Kajo lahir pada 1 Agustus 1874 di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, dari pasangan Pinggir Bandaharo Koeniang (suku Sikumbang) dan Bani (suku Piliang). Ia yatim piatu sejak kecil dan dibesarkan oleh Lanjadin Khatib Besar bergelar Datoek Kajo, yang menanamkan nilai-nilai progresif serta sikap anti-ketidakadilan kolonial.
Ia menempuh pendidikan di Suliki (1882) dan sekolah privat di Bukittinggi (1885–1887), sebelum bekerja sebagai juru tulis Kantor Kontrolir Agam Tua (1892–1895). Pada 11 Mei 1895, ia dikukuhkan sebagai Datoek Kajo dan diangkat menjadi Tuanku Laras Empat Koto. Karier administratifnya berlanjut sebagai Demang Payakumbuh, Demang Padangpanjang, dan Demang Air Bangis.
Sebagai anggota Volksraad (1927–1931 dan 1935–1939), Jahja menjadi simbol keberanian intelektual pribumi. Dalam sidang 16 Juni 1927, ia tercatat sebagai tokoh pertama yang berpidato dalam Bahasa Indonesia, menentang dominasi bahasa Belanda di forum kolonial. Momentum penting menuju pengakuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Versi tanggal ini (16 Juni) dipilih berdasarkan arsip keluarga dan catatan Suryadi (2011) sebagai konsensus paling mendekati.
Jahja Datoek Kajo juga aktif dalam Sarekat Islam, Jong Sumatranen Bond, dan Fraksi Nasional Volksraad bersama Mohammad Husni Thamrin dan Abdul Rasjid. Jahja wafat pada 9 November 1942 di kampung halamannya, meninggalkan warisan intelektual dan moral yang berakar kuat pada nilai adat Minangkabau dan Islam.
Kehidupan Keluarga dan Warisan Nilai
Sebagai ayah dari 21 anak, Jahja Datoek Kajo menanamkan prinsip pendidikan, disiplin, dan tanggung jawab sosial kepada seluruh keturunannya. Banyak di antara mereka menempuh pendidikan tinggi dan berkarier di bidang militer, pemerintahan, kedokteran, dan pendidikan.
Keluarga ini menjadi contoh transformasi sosial Minangkabau dari generasi penghulu adat menuju generasi terdidik modern yang berperan dalam pembentukan republik. Warisan nilai yang paling menonjol adalah etika publik, semangat egaliter, dan nasionalisme konstitusional, sebagaimana tercermin dalam kiprah para putranya di masa kemerdekaan.
Brigjen Daan Yahya: Disiplin Militer dan Integritas Moral
Brigjen TNI (Purn.) Daan Yahya lahir di Padangpanjang, 5 Januari 1925. Ia menempuh pendidikan di STOVIA Batavia. Menurut catatan keluarga yang dikonfirmasi dalam artikel “Sisi Lain Dokter Indonesia” (Kompasiana, 2011), pada masa pendudukan Jepang, Daan Yahya dan sejumlah mahasiswa STOVIA menolak perintah pengundulan kepal, bentuk protes simbolik terhadap upaya Jepang menghapus identitas nasional. Aksi itu menyebabkan mereka dikeluarkan dari pendidikan formal.
Setelah itu ia bergabung dengan PETA, lalu pasca-proklamasi 1945 aktif dalam jaringan pemuda “Perapatan Sepuluh”, simpatisan Sutan Syahrir yang mengorganisasi Rapat Raksasa Lapangan Ikada.
Daan kemudian bergabung dengan Divisi Siliwangi di bawah Kolonel A.H. Nasution dan ikut Long March Siliwangi (1948–1949) sejauh ±1.000 km. Setelah perang, ia menjabat Gubernur Militer Jakarta Raya (1950), Kepala Staf Divisi Siliwangi (1952–1955), dan Atase Militer RI di Kairo (1956–1959).
Sebagai anggota Petisi 50 (1980), Daan Yahya menentang penyalahgunaan Pancasila oleh rezim Orde Baru, menegaskan bahwa loyalitas terhadap bangsa lebih tinggi daripada kepentingan kekuasaan. Ia wafat pada 20 Juni 1985 di Jakarta , meninggalkan teladan keberanian moral dan disiplin kepemimpinan.
Kolonel Maritim Achirul (Akhirul) Yahya: Visioner Pembangunan Nagari
Kolonel (Mar) Achirul (Akhirul) Yahya lahir di Koto Gadang, 27 Maret 1934. Lulusan Akademi Angkatan Laut (1959), ia bertugas di Kodamar VI Ambon dan Kodamar IV Biak sebelum menjabat Wali Kota Padang (1967–1971).
Dalam masa jabatannya, Achirul Yahya menata infrastruktur kota, mengembangkan pasar tradisional, memperkuat sistem nagari, dan memperjuangkan desentralisasi daerah. Ia dikenal terbuka terhadap tokoh Islam dan moderat dalam pendekatan sosial.
Dalam dokumen TAUSHIYAH Dr. M. Natsir (Mas’oed Abidin, 1968 ), disebutkan bahwa pada 14 Juni 1968 di Lapangan Udara Tabing, “Bapak Mohamad Natsir hadir atas undangan Gubernur Sumbar Prof. Harun Zain dan Wali Kota Padang Kol. Maritim Achirul Yahya.” Peristiwa ini melambangkan rekonsiliasi simbolik Sumatera Barat pasca-konflik PRRI.
Catatan Buya Mas’oed Abidin dalam Arsip Pembangunan Nagari dan Dakwah Natsir di Sumbar, menyebut peran penting Achirul Yahya dalam memediasi hubungan antara pemerintah daerah dan tokoh-tokoh dakwah.
Setelah pensiun, Achirul menjadi staf ahli Wawasan Nusantara di Hankam dan asisten Menko Polkam bidang hukum laut (1981). Ia wafat di Padang, 8 November 1990. Namanya diabadikan sebagai Gedung Achirul Yahya (diperesmikan 28 Oktober 2024) . Merupakan simbol pengabdian dan integritas kepada nagari
dr. Sagaf Yahya: Dokter Pejuang dan Residen Pertama Jambi
dr. Sagaf Yahya merupakan tokoh kedokteran dan pejuang kemerdekaan di Jambi. Lulusan STOVIA, ia aktif dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) sejak 1940. Setelah Proklamasi, pada 3 September 1945 ia diangkat sebagai Residen pertama Republik Indonesia di Jambi, menggantikan pejabat Jepang.
dr. Sagaf Yahya memimpin pengibaran Merah Putih pertama di Jambi dan membentuk pemerintahan darurat daerah. Selama Agresi Militer Belanda, Sagaf memimpin Sub-Komando Sumatera Selatan, mempertahankan perkebunan karet strategis sebagai sumber logistik perjuangan (Zainuddin, 1979/1980).
Sebagai dokter dan pejuang, Sagaf Yahya menyatukan idealisme medis, nasionalisme, dan kemanusiaan. Warisan moral yang kuat dari keluarga besar Datoek Kajo.
Kesimpulan
Dari Jahja Datoek Kajo hingga keturunannya seperti Daan Yahya, Achirul Yahya, dan Sagaf Yahya. Warisan mereka menunjukkan bahwa falsafah Minangkabau diterjemahkan dalam tindakan konkret: keberanian intelektual, kedisiplinan moral, dan pengabdian publik.
Penelitian lanjutan terhadap arsip keluarga, Volksraad, dan dokumen kolonial akan memperkaya historiografi nasional tentang keluarga-keluarga pribumi progresif dalam pembentukan Indonesia modern.
Daftar Referensi
1. Azizah, E., Mursyid, A. M., & Arfan, B. R. (2008). Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927–1939. LKiS.
2. Eteng, M. O. (n.d.). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Barat. Arsip keluarga Yahya.
3. Niadilova. (2008, 24 Oktober). Jahja Datoek Kajo dan “Pemberontakan Bahasa Indonesia” di Volksraad.
4. Suryadi. (2011). Minang Saisuak: Jahja Datoek Kajo, Jago Bahasa Indonesia di Volksraad.
5. Tirto.id. (2017, 9 November). Jahja Datoek Kajo Melawan Belanda Lewat Bahasa.
6. Zainuddin, A. M. (1979/1980). Perjuangan Kemerdekaan di Jambi. Jambi: Penerbit Lokal.
7. Pemerintah Provinsi Jambi. (n.d.). Sejarah Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Jambi.
8. RRI. (2024, 28 Oktober). Nama Achirul Yahya Diabadikan Sebagai Kantor Dinas Pemko.
9. Padek Jawapos. (2024, 29 Oktober). Achirul Yahya Diabadikan Jadi Nama Kantor Dinas Pertanahan dan Perkim.
10. Kompasiana. (2011). Sisi Lain Dokter Indonesia. https://www.kompasiana.com/maspet/5500ea63a3331117735125a7/sisi-lain-dokter-indonesia?l=c
11. Mas’oed Abidin, H. (1968). TAUSHIYAH Dr. M. Natsir – Hidupkan Da’wah Bangun Negeri. https://id.scribd.com/doc/4448960/TAUSHIYAH-DR-M-Natsir
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti.

0Komentar